
Sumber: antaranews.com
Jagoan Tips – Museum Arma Ubud, Bali, akan kembali menjadi tuan rumah pameran berjudul Roots yang mengambil tema “Seratus Tahun Walter Spies di Pulau Dewata”. Pameran ini dijadwalkan berlangsung mulai 24 Mei hingga 14 Juni, menandai satu abad sejak kedatangan seniman Jerman kelahiran Rusia tersebut yang meninggalkan jejak mendalam pada lanskap budaya Bali.
Menurut manajer proyek pameran, Yudha Bantono, Roots akan menampilkan kombinasi karya seni rupa—meliputi lukisan dan grafis poster—yang dilengkapi instalasi seni kontemporer serta pemutaran film. Semua rangkaian karya tersebut dirancang untuk mengajak pengunjung memahami kontribusi Spies dalam mengenalkan unsur estetika modern kepada tradisi Bali.
Film berjudul Roots sendiri merupakan dokumenter fiksi garapan Michael Schindhelm, sosok yang dikenal sebagai penulis, sutradara, kurator, dan konsultan budaya berdarah Jerman-Swiss. Melalui narasi kontemporer, Schindhelm mengeksplorasi bagaimana kehidupan dan pemikiran Spies (1895–1942) menstimulus proses pertukaran budaya antara Barat dan Bali.
Dalam film tersebut, tokoh-tokoh penting Bali turut tampil, antara lain koreografer Wayan Dibia dan pendiri Museum Arma, Agung Rai. Kehadiran mereka bertujuan mempertegas dialog lintas generasi, sehingga kisah tentang Spies bisa dirasakan relevansinya oleh masyarakat masa kini.
Selain memusatkan atensi pada sosok Spies, Roots juga menyinggung isu-isu kontemporer yang membelit pulau ini. Topik seperti pariwisata massal, tekanan terhadap lingkungan, serta kontradiksi dalam identitas budaya akan diangkat dalam pameran. Penyajian tema tersebut diharapkan mampu memicu kesadaran kolektif mengenai pentingnya keseimbangan antara pelestarian tradisi dan tuntutan modernitas.
Dalam rangka menguatkan perspektif lokal, dua seniman Bali—pelukis Made Bayak dan grafis Gus Dark—dilibatkan untuk berkolaborasi dengan pemutaran film dan instalasi. Keduanya diberi kebebasan mengeksplorasi narasi perjuangan masyarakat setempat menjaga keotentikan budaya di tengah dinamika zaman. Hasil karya mereka nantinya akan memuat dialog visual yang merekam momen-momen penting sejarah Bali.
Yudha Bantono menjelaskan bahwa kombinasi film, instalasi, dan karya rupa ini diharapkan menghadirkan “pengalaman imersif” bagi penonton. Dengan begitu, pengunjung tidak sekadar menyaksikan pameran, melainkan diajak menyelami alur sejarah dan nilai-nilai budaya yang masih relevan hingga kini.
Michael Schindhelm menekankan bahwa proyek Roots seyogianya dipahami sebagai “memori kolektif”. Melalui medium audiovisual dan seni rupa, pameran ini berupaya merekonstruksi kisah pascakolonial Bali, sekaligus meninjau pengaruh budaya Barat pada tradisi setempat. Ia memandang warisan Spies tidak cukup berhenti pada catatan sejarah, melainkan harus dihadirkan kembali dalam konteks perdebatan dan refleksi masa kini.
Lebih jauh, Schindhelm menilai bahwa jejak Spies dalam mentransformasi Bali menjadi destinasi wisata global selayaknya diperlakukan sebagai “warisan bersama”. Pameran Roots pun diharapkan mempertemukan narasi masa lalu dengan isu-isu kontemporer, sehingga makna kedatangan Spies dapat diinterpretasikan ulang secara kritis.
Sementara itu, Made Bayak menyatakan bahwa terlibatnya seniman lokal dalam proyek ini menjadi bukti bahwa kolaborasi lintas generasi bisa menghasilkan pemahaman baru. Ia menilai Roots sebagai pengingat akan potensi sinergi antarbudaya, sekaligus bahan renungan atas tantangan yang saat ini dihadapi masyarakat Bali.
Keterlibatan Gus Dark juga mendukung semangat tersebut. Ia menggunakan medium grafis untuk menampilkan tensi antara tradisi dan perkembangan modern, sekaligus menyoroti dampak tekanan pariwisata terhadap identitas setempat. Lewat gaya visualnya, Gus Dark berusaha menjembatani ingatan kolektif dan dinamika urban yang terus berubah.
Dengan memadukan cerita sejarah, karya seni kontemporer, dan pemutaran film, pameran Roots di Museum Arma Ubud menjadi sarana dialog antarbudaya sekaligus platform refleksi sosial. Para pengunjung diundang tidak hanya sebagai penonton pasif, melainkan turut menghidupkan percakapan tentang pelestarian budaya, dinamika pariwisata, dan relevansi masa lalu terhadap masa depan Bali.
Akhirnya, pameran ini bukan semata perayaan seabad kehadiran Walter Spies di Bali, melainkan upaya merajut kembali benang-benang warisan budaya dalam bingkai konteks global. Dari sudut pandang mulanya sebagai pengaruh Barat pada estetika Bali, Roots berambisi menempatkan warisan Spies ke ruang kontemporer, di mana identitas budaya dipertanyakan, dirayakan, dan dihidupkan kembali melalui kreativitas lintas disiplin.